Friday, July 15

Siapa Aku? Aku Siapa?

Aku adalah aku. Seorang gadis – yang menurutku – biasa saja. Seorang tipikal gadis yang bisa kau temui di jalanan, toko buku, atau bahkan sudut kedai kopi. Aku adalah seorang gadis yang mungkin adalah seseorang yang seringkali kau sapa tiap hari. Atau mungkin, aku adalah seorang gadis yang menjadi temanmu dan berbagi keceriaan bersamamu. Ya, seperti apapun aku di dalam benakmu, aku adalah aku.


Namaku Rissa, dan umurku saat ini dua puluh dua. Jika kamu adalah seorang yang asing bagiku, dan lalu tanpa sengaja berpapasan denganku, maka aku tidak akan sama sekali menarik perhatianmu. Karena aku biasa saja. Aku tak merasa cantik dan tubuhku tidak terhitung proporsional. Kulitku kecoklatan dengan rambut acak-acakan. Aku memiliki hidung mungil, atau yang seperti biasa kawan-kawanku bilang, pesek. Pipiku tembem, serta ada beberapa bekas jerawat dan cacar air disana-sini. Lalu, aku takkan terlihat segar jika tidak membubuhkan eyeliner dan lipstik. Aku perokok berat, sehingga bibirku tidak berwarna merah muda seperti gadis kebanyakan. Tapi seperti apapun aku di dalam pandangan matamu, aku adalah aku.

Secara fisik, nyaris tidak ada satupun yang istimewa di dalam diriku jika definisi dari istimewa menurutmu merujuk pada kecantikan fisik saja. Bahkan mungkin aku bisa saja tak berarti sama sekali jika kau melihatku tanpa sengaja dengan sekilas di suatu keadaan yang biasa. Karena aku memang seperti itu. Aku bukan orang yang sepertinya bisa cocok dengan istilah ‘jatuh cinta pada pandangan pertama’, karena aku memang gadis biasa saja.

Ada beberapa yang menganggapku begitu istimewa. Tapi aku tak pernah menganggap diriku istimewa, walau ada yang berteori bahwa setiap manusia itu istimewa. Mereka itu orang-orang yang setidaknya menghabiskan satu atau dua sesi obrolan bersamaku, dan merasakan kenyamanan ketika membagi ceritanya padaku. Satu persatu mereka datang padaku, dengan sengaja atau tidak, hanya untuk menceritakan permasalahannya padaku. Aku senang bisa membantu mereka, dan ternyata –diluar dugaan – mereka pun merasa senang dibantu olehku.

Beberapa orang yang memberikan kepercayaannya padaku untuk menyimpan rahasia-rahasia mereka selalu menganggap bahwa aku adalah orang yang tepat untuk mengadu. Lebih dari rasa nyaman dan aman, jauh diatas anggapan bahwa aku adalah seorang pemikir jenius di berbagai bidang, dan juga pemberi solusi terbaik untuk masalah-masalah yang sedang mereka hadapi. Sampai pada akhirnya, tak sedikit dari mereka yang menaruh rasa kasih dan sayang padaku.

Bukan aku besar kepala. Bukan aku menganggap semua ini adalah bentuk kesombongan. Pendapat itu relatif dan variatif, dan hal ini bukanlah satu poin yang kuanggap istimewa. Tapi jika aku bisa menjamu mereka dengan perasaan baik seperti itu, maka aku bersyukur pada alam semesta yang membantuku untuk mewujudkannya. 

A menganggapku seorang yang menjadi candu baginya untuk tempat mengadu, B merasa bahwa pemikiranku begitu hebat, C meyakini bahwa ia akan merasa sangat kehilanganku jika pada suatu hari aku pergi, D melihat aku sebagai gadis urakan yang berbeda dari lainnya. Entah karena apa, setiap perspektif dari mata mereka terhadapku, aku terima begitu saja. Tapi bukankah aku hanya seorang gadis yang biasa saja?

Dan aku kerap menyimpan segala keluh kesah di dalam hati. Bukan karena aku tidak memercayai siapapun di dunia ini, bukan pula karena aku meragukan akan ada orang yang mengerti apa maksud dan mauku. Bukan seperti itu. Jika boleh aku mengatakannya sebagai takdir, maka aku akan senang jika aku memang ditakdirkan untuk memiliki ‘mereka’, tempat dimana aku bisa berkeluh kesah.

‘Mereka’ itu bisa terhitung oleh jari, dan takkan lebih dari jari tangan yang kumiliki. Aku tak perlu orang yang benar-benar mengerti segala permasalahanku, aku juga tak perlu orang yang akan senantiasa bisa memberikan solusi efektif, serta aku tak perlu orang yang bisa dengan seketika memberikan rasa aman dan nyaman padaku. Aku hanya perlu ‘mereka’, orang-orang terpilih saja yang akan kujadikan perlindungan dari segala kegalauanku. Bukan maksud hati untuk memilih, tapi semua ini berkaitan dengan perasaan rindu akan orang-orang yang mengerti aku. Walaupun mereka pasif, walaupun mereka sama sekali tidak memberikan solusi, walaupun mereka menganggapku sebagai gadis biasa yang banyak maunya. 

Terlepas dari semua itu, seperti halnya chain effect, orang-orang yang membutuhkanku selalu datang padaku. Dan aku, tentu saja mengejar mereka yang aku butuhkan. Semua ini hanyalah masalah hati. Kadang kecocokan hati yang menentukan siapa cocok dengan siapa. Itulah Chemical reaction yang terjadi jika antara satu hati dengan yang lain sudah bisa saling mengisi dan membutuhkan. Bukankah seperti itu, pondasi dasar dari setiap bentuk hubungan percintaan dan kasih sayang?

Rasa syukurku tak pernah berhenti untuk alam semesta yang telah mempertemukan aku dengan mereka. Mereka yang kubutuhkan, jauh dari penilaian secara fisik atau apapun yang sifatnya sementara, selalu bisa kugenggam dan kurangkul dengan erat. Mungkin ada yang pergi karena sudah lelah untuk berbagi, mungkin ada yang pergi karena tidak tahan akan kedinamisan sifat dan sikapku, mungkin ada yang pergi karena ternyata mereka baru menyadari bahwa zat kimiawi antara aku dan mereka itu sebenarnya sudah tak lagi bereaksi. Ya sudahlah, karena aku gadis biasa maka sudah sewajarnya mereka pergi. Bukankah begitu?

Dan orang-orang yang kini berjuang untuk tetap bertahan bersamaku, adalah orang-orang yang kadang mengutukku. Orang-orang yang kadang merasa jijik padaku. Orang-orang yang kadang merasa bahwa aku itu pantas untuk dibenci. Orang-orang yang seringkali merasakan seperti itu, namun tetap bertahan disisiku. Orang-orang yang merasa bahwa kedua hati kami terikat dan terkunci. Orang-orang yang merasa bahwa tidak akan ada lagi aku yang lain di dunia ini. Orang-orang yang mempertahanku untuk tetap berada di samping mereka, karena aku begitu istimewa.

Aku manusia biasa, tentu saja. Dan orang-orang terbaikku juga manusia biasa. Manusia biasa yang memiliki kompleksitas yang sama, saling membutuhkan, dan mengerti kekurangan dan keistimewaan masing-masing.



Ah… Ternyata menjadi manusia biasa itu tidaklah mudah. Walaupun aku terlahir biasa saja, namun pada akhirnya kompleksitas hidup-lah yang membawa kita menjadi begitu istimewa. Dan pada akhirnya, aku menyadari satu hal: bahwa aku bukan gadis biasa, karena aku istimewa.

No comments:

Post a Comment