Monday, October 18

Potret Diriku dan Malam di Pasopati

Pasopati tak pernah sesunyi ini, jalanan panjang dengan tiang menjulang megah ditengahnya, lampu-lampu rumah yang tak pernah padam geloranya di kala malam. Sesekali satu atau dua kendaraan melaju dalam gerak lambat atau, memang mataku yang tengah rabun dan samar? Anginnya tak pernah sedingin ini, kudukku berdiri dan hawa dingin menghentak-hentakan bibir. Ia pula yang menghempaskan sampah dan puntung rokok ke segala arah. Protes kepalan tangan di dalam Parka tak menghilangkan satu derajatpun menjadi hangat. Tapi aku suka ini.

Tundukku malu padanya, sang purnama yang gagah bertalenta. Ia mencerahkan dunia, dalam malam, yang bahkan mungkin hanya aku yang kini tengah tersadar bahwa tanpa kerlip lelampuan pun ia akan tetap benderang. Disaat semua orang mendengkur dan bermimpi tentang esok hari, disaat sang petualang malam menjaja diri, disaat sang pencari senang bergoyang dan bernyanyi. Dan bulan akan tetap seperti ini.

Capuchon diatas kepalaku terjatuh, dan aku membiarkan sepoi angin dengan santai membelai rambutku. Kupejamkan mata, sedikit menghela, seolah rasa didalam sini tak lagi bisa membendung teriakannya. Protes diri terhadap temaramnya hati tak bisa kusembunyikan lagi. Dan iapun jatuh, membasahi aspal hitam jalan layang ini. Kuiris tangisku, kugigit ujung piluku. Tuhan tahu aku seperti ini, sendiri di kota ini dan terjerembab pada kompromisasi semu tentang semua hal yang dulu menjadi panut diri.

Kupeluk lututku, dengan telunjuk kugariskan abstrak diatas debu. "life". Dan gambaran tentang itu, seolah mengikuti kerumitan isi kepalaku. Membentuk mosaik dari setiap darah dan peluh, dari setiap tangis dan tawa. Kulihat masa depan, kulihat mereka yang tengah tersenyum lelah, dan bangga.

Apalah arti sebuah tanya jika tak ada jawabnya? Karena kupikir semua hal yang tabu dan abstrak tentu ada arti dibalik keambiguannya. Dan apalah arti mimpi jika esok hari ku hanya bisa melihat semua seolah seperti ... mimpi?

Jika kutelanjangi aku dan kujatuhkan tubuhku diatas puluhan meter jembatan ini, lalu apa yang akan terjadi? Apakah sorak sorai tawa dari sekumpulan iblis ataukah riuh rendah orang-orang terkasih yang menangis? Pun aku tak mengerti.

Dan dalam pekatnya malam ini kubiaskan segala ocehan bawah sadarku, dengan segala deru dentingan mimpi berjatuhan, perlahan tapi pasti akan kususun lagi pecahannya.


Rissa Ramadhani Fauzia, 05:37 PM 11-10-10

- ada kata yang berhamburan, jauh di dalam pesona warna-warni Bandung. Itu ada aku, walau semu. -