Sunday, January 23

Toleransi Tendensi (Complete Text)

Tak apa jika ketakutanmu mengompori pikiranmu untuk tak berhati. Toh, aku yang tak merasa hidup tanpa urat simpati pun bisa terharu memikirkannya. Dan jika suatu hari nanti kelopak maaf enggan menutup, maka kamu harus bersiap dibajiri berjuta galon airmata. Tak ada yang tak bisa kubaca selain infrastruktur megapolis jidatmu.

Dan aku kerap bertanya, apa kosong yang sebenarnya memenuhi isi hatimu?

Katakanlah aku sedang mentoleransi tendensimu, yang katanya tidak mampu mengirimkan proton ke dalam aorta akutku. Katakanlah aku sedang mereproduksi empati, seolah suatu waktu aku akan kembali perlu. Aku tidak cukup munafik dalam menepikan pilu. Dan ya, aku tidak cukup fantastis hanya untuk menjadi tegar.

Statistik menunjukkan kalau aku tak begitu rapuh, ternyata. Itu menurut sebuah mesin, yang gemar menghitung dalam angka. Termasuk minus-minusnya, katanya. Kearifan mesin pencetus dusta itu, aku tak begitu peduli. Poros hati sebenarnya yang bicara. Itu baru menurutku, yang gemar membaca dalam kata.

Pentoleransian ini kesannya demokratis. Dan neo kapitalisasi dunia semakin mencemoohku, karena katanya aku terlalu tabu, malu-malu. Oh! Betapa aku begitu terbelakang, sehingga segala absorbsi kemajuan tak kuhiraukan.

Katakanlah aku akan tetap mentoleransi tendensimu. Aku cekik mati semua suara-suara dalam kepalaku. Anggaplah aku berpura-pura menjadi dewa.Tunjuklah keningku jika ternyata toleransi ini ternyata lagi-lagi, salah kaprah!

Tapi, Tapi! Jika aku merumitkan hormon dopamin dalam dirimu, dan lalu kamu menyadari bahwa aku-lah dopamin itu, jangan pernah minta aku untuk mentoleransi tendensimu lagi. Karena aku bisa menjelma menjadi apa saja, bahkan sesuatu yang tidak kamu mau.

Dan,
Jika suatu hari nanti aku potong nadi keadiktifan ini, aku bunuh skrip tentangku denganmu, maukah kamu mentoleransi tendensiku?

--- 24 Januari 2011, dalam diam  ---


No comments:

Post a Comment