“Suicide was a beautiful moment of mine. I cut my vein twice, and in the third, I changed myself into different one, hoped that I could survive and still alive.”
Ketika kamu dihadapkan pada dua pilihan, jika keduanya sama sekali tidak kau inginkan, lantas apa yang akan kamu lakukan?
Pernah suatu ketika aku merasa hidup tak lagi indah, semuanya mendadak berwarna kelabu. Apapun yang kulihat hanyalah kegelapan, apapun yang kurasakan hanya pilu. Pernah, pada saat itu, aku menginginkan kematian. Suatu keadaan dimana tubuhku tak lagi punya daya untuk menangis, berteriak, dan merasakan sakit. Suatu keadaan yang kupikir, akan membuatnya kembali, berbalik arah, dan menyesali apa yang telah ia perbuat padaku.
Berbulan-bulan lamanya aku merasa seluruh tubuhku mati rasa, selalu merasa ada yang hilang. Berkali-kali aku bercermin, yang kulihat hanyalah seonggok daging yang hatinya telah mati. Mukanya masam, tubuhnya kurus, kulitnya pucat, dan tatapannya kosong. Aku tak lagi merasa cantik, tak lagi merasa berharga.
Aku begitu membenci kehidupan yang dimana wajahnya tak terlihat, aku membenci kehidupan yang dimana aromanya tak kucium, aku membenci kehidupan yang dimana lengannya tak bisa lagi kugenggam, aku membenci kehidupan yang dimana kecupan lembutnya tak bisa lagi kurasakan. Ia begitu melekat, sangat kuat, sehingga aku tak pernah bisa membayangkan apa jadinya hidupku tanpa sosoknya.
Memang terkesan sangat “drama queen”, namun jika kamu merasakannya sendiri ke-alay-an itu, kamu akan sangat yakin bahwa ini semua wajar. Sekali lagi, cinta bisa membuatmu terbang sampai kelembutan awan-awan bisa kau genggam, dan kau mengimani cinta sebagai penyelamat hidupmu. Cinta juga bisa membuatmu jatuh terperosok ke lubang terdalam, dan meski kau meraung-raung meminta cinta menyelamatkanmu, ia takkan pernah datang.
Pada saat dimana hidup bukanlah lagi suatu keadaan yang bisa membuatmu terus merasa penasaran, maka kamu akan tertarik pada kematian. Jika dari segala penjuru dunia berkoar-koar mengenai “afterlife”, maka ketertarikanmu terhadap kematian itu akan menjadi-jadi.
Aku, yang merasa tak lagi berharga, yang merasa tak lagi bisa membuka diri untuk menerima segala bentuk kesenangan dan uluran tangan, begitu senang jika mendengar kata mati. Aku merasa bahwa kesenangan dan uluran tangan itu, tak pernah tulus lagi. Tak pernah benar-benar menginginkanku untuk bangkit kembali berdiri. Semuanya palsu, semuanya hanya memanfaatkan keadaan lemahku.