Tanggal 1 Oktober 2011 kemarin adalah konser tunggal Polyester Embassy, band indie asal Bandung yang pergerakannya baru dimulai lagi setelah mengalami vakum selama hampir 4 tahun. Dengan membawa tajuk “Silent Yellow Ensemble”, band ini mengenalkan album baru “Fake/Faker” pada para pecinta music post-rock yang memang sudah sangat lama menantikan gebrakan baru dari mereka.
Sebelumnya, album “Tragicomedy”
sempat memberikan warna baru di ranah musik indie Bandung. Sebagai seorang post-rock listener, lagu-lagu mereka sudah begitu
akrab di kuping saya. Hingga datang album “Fake/Faker” di awal tahun 2011, saya
semakin mantap mengagumi musik Polyester Embassy.
Sebagai appresiator, saya menilai
bahwa konser Polyester Embassy malam itu cukup ‘profesional’. Dilihat dari sisi
ticketing, venue, entrance pass, hall of fame, serta stage. Memang, konser ini disponsori oleh satu produk rokok
terbesar di Indonesia dan itu menjadi satu faktor penting profesionalitas
konser ini malam itu.
Namun, seperti konser-konser yang
pernah saya lihat sebelumnya, selalu saja ada yang kurang. Jujur saja, saya
tidak merasa nyaman akan lighting yang
terlalu ramai untuk ukuran venue Teater
Tertutup Dago Tea House. Di awal konser, lighting
tidak menjadi masalah karena tidak begitu silau. Bagi saya, tema acara atau tagline sebuah acara harus benar-benar
bisa diwakili oleh keadaan di dalam venue.
Masalah lain adalah
ketidakprofesionalan concert’s crew
yang ketika acara sudah dimulai, atau lebih tepatnya ketika para penonton masuk
ke venue, para kru konser ini seakan
tidak memedulikan betapa pentingnya ‘kesakralan’ sebuah acara konser TUNGGAL!
Satu frase yang mungkin tidak akan bisa setiap band dapatkan.
Sejauh ini, saya mendapatkan
beberapa ‘kesalahan’ yang semoga, tidak lagi terjadi di konser-konser tunggal lain,
khususnya Polyester Embassy:
#Fail 1 “This is Masterpiece,
This Must Be Something Great!”
Kesalahan pertama adalah para
penyelenggara konser yang tidak menjunjung tinggi kalimat pembuka diatas. Treatment of a show depends on it! Jika
para panitia merasa konser ini sebagai satu konser yang bisa menjadi “another Bandung’s masterpiece concert”,
maka seharusnya, “treatment” terhadap
acara ini harus total dan tidak setengah-setengah. Karena inilah, perencanaan
sebuah acara mulai dari “pre-conditioning”
hingga “conditioning” harus
benar-benar tergodok. Setiap detil dari sebuah konser adalah emas, yang bisa
menimbulkan apresiasi lebih mendalam dari para penonton.
Ceuk Sunda na mah “hare-hare”. Konser terbilang cukup besar, namun
perlakuan terhadap konser ini “kurang agung”.
Contoh kecil dari kegagalan
konser malam ini adalah ketika penonton sedikit demi sedikit sudah memasuki venue, sampai waktunya “Space and Missile” (band pembuka
konser) tampil, tak ada sedikitpun keseriusan dari para “sound checker” atau para pengecek peralatan band diatas panggung.
Seharusnya, jika mereka merasa konser ini ‘bakal keren banget’, maka sound check seharusnya dilakukan sebelum
para penonton datang! Sehingga, ketika penonton memasuki venue, mereka sudah siap disuguhi ‘sesuatu’. ‘Sesuatu’ yang bisa
berkembang di pemikiran masing-masing.
Saya sempat berharap bahwa konser
ini akan menyuguhkan perjalanan Polyester Embassy semenjak 2006 hingga 2011
dalam bentuk video di awal konser. Harapan saya meleset jauh setelah melihat
para sound checker berlalu lalang
diatas panggung, mengecek suara peralatan ‘perang’. Bukankah hal itu bisa
dilakukan jauh sebelum para penonton masuk ke dalam venue?
#Fail 2: “Too Bright, so I can See
Daft Punk Up There.”
Keren! Sumpah, lighting konser “Silent Yellow Embassy”
ini terbilang ‘wah’ untuk konser kaliber band Indie. Banyak spotlights serta LED screens, apa lagi yang kurang?
Untuk penataan cahaya, saya bisa
bilang keren. Tapi… Lagi-lagi, esensi dari konser Polyester Embassy yang
bertajuk “Silent Yellow Ensemble”, kurang tercerminkan. Saya sempat
berpikir, apanya yang “yellow”?
Apanya yang “Silent”? Sehingga dari
pertanyaan-pertanyaan tersebut saya sempat mencari-cari artinya, hanya untuk
mengaitkan tema konser dengan apa yang sedang berlangsung di depan saya.
Untuk musik post-rock, penataan cahaya seperti ini terlalu terang dan
‘gemerlap’. Jauh dari konsep musik
yang mengutamakan low lights dan musik yang maksimal, serta membiarkan
para pemain band serta penonton terbius oleh musik. To be honest, those bright lighting and LED screens behind distracted
me to more appreciate how good the stage is, than enjoying their music. Sorry,
but so far, the comments about the concert were too stressed in lighting
effects!
Di lagu pertama, LSD, lighting tidak terlalu menyilaukan mata.
Namun di lagu-lagu selanjutnya, saya pikir berlebihan. Seakan-akan saya sedang
menonton konser Daft Punk yang notabene beraliran dance, house, dan electronic. Oh, that was
waaaay too far from Polyester Embassy!
Kesalahan lain, lighting sehebat itu tidak cocok
ditempatkan di dalam teater tertutup Dago Tea House yang bisa dibilang tidak
terlalu luas. Alhasil, keadaan yang seharusnya ‘sacred’, berubah total.
#Fail 3: “Happy Singing!”
Kesalahan lain yang ada di konser
tersebut adalah, keadaan dimana sang vokalis berkali-kali ‘blunder’, dengan
merusak elemen ‘khusyuk’ penonton. Kenapa? Yang pertama adalah ketika mereka
pertama kali masuk ke dalam stage,
sang vokalis dengan sengaja mendentingkan suara synthesizer. Yang kedua adalah ketika pada lagu *saya lupa
judulnya*, vokalis memainkan synthesizer
dan ditengah-tengah kekhusyukan penonton menghayati lagu, ia berbicara. Yang
ketiga adalah perlakuan konser yang terlihat malah seperti sesi latihan di
studio dan tidak ada bedanya dengan mendengarkan Polyester Embassy dari mp3
yang memenuhi playlist winamp saya.
There are so many spectators in front of you, and can you just count it
as your achievement? Four years they’ve been waiting for your appearance, and
why you should be that ‘cold’? Good Lord, I love Polyester Embassy and I can
tolerate those all.
Kebetulan, saya adalah orang yang
paling bisa mentoleransi keterlambatan. Delay
konser setengah sampai satu jam, saya pikir wajar. Maka, untuk masalah satu itu,
saya tidak ada masalah.
Saya tidak peduli jika salah satu
dari pembaca blog saya ini adalah panitia konser “Silent Yellow Ensemble”,
namun jika mereka menyadari secara positif betapa pentingnya kritik penonton
untuk kemajuan konser-konser selanjutnya, maka saya yakin mereka akan menerima
dengan lapang dada.
Sejauh ini, konser Polyester
Embassy yang bertajuk “Silent Yellow Ensemble” adalah yang terbaik sepanjang
tahun 2011. Saya bisa berkata demikian karena seperti yang saya bilang tadi,
konser ini konser besar dan professional.
Secara musikalitas, lagu-lagu Polyester Embassy berhasil dibawakan dengan apik. Apalagi ketika Polyester Embassy berhasil meng-cover saty lagu dari M83 yang berjudul "Don't Save Us from the Flames", I feel so good!
Sebagai apresiator, saya
mengharapkan konser-konser selanjutnya (Polyester Embassy khususnya) bisa lebih ‘keren’ dari konser tunggal Polyester
Embassy malam itu.
No comments:
Post a Comment